Suatu ketika ada peristiwa kematian di kampungku. Mbah Diman telah meninggal dunia. Serangan jantung katanya, tepat jam 12 malam ketika hujan lebat dan kilat yang saling menyambar. Mungkin sekali ia kaget, dan terkejut setengah mati ketika ada bunyi guntur menggelegar teramat keras, tepat tengah malam.
Ya, guntur itupun tak hanya mematikan listrik di kampung kami, tapi juga menyebabkan serangan jantung akut bagi Mbah Diman. Tepat ketika beberapa saat kemudian listrik menyala lagi, seluruh isi rumah berteriak histeris. Ya, Mbah Diman telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, entah napas yang ke berapa trilyun dalam sejarah hidupnya yang panjang.
Sayang memang belum ditemukan alat penghitung nafas, sehingga kita tidak tahu sudah berapa juta kalikah kita bernapas. Seandainya alat itu memang ada, sungguh ia bisa menambah keimanan kita pada yang Maha Memberi Nafas. Mungkin kita akan selalu ingat dan mawas diri, senantiasa bersyukur bahwa kita masih diberi kesempatan bernafas dengan hidung ciptaan Allah, jantung ciptaan Allah, paru-paru ciptaan Allah dan udara yang juga pemberian Allah. Suatu hal esensial yang jarang sekali kita pikirkan dan kita syukuri.
Untung Allah tidak komersil. Coba saja jika Allah Maha Pelit. Sungguh, sholat seumur hiduppun tak akan mampu membayar biaya sewa jantung, paru-paru, hidung dan udara yang kita hirup tiap hembusan nafasnya. Bahkan jelas ibadah kita takkkan mampu menukar biaya sewa segala fasilitas yang telah diberikan Tuhan pada kita sebagai modal hidup di dunia.
Lalu mengapakah kita tidak bersyukur, wahai orang-orang yang berakal? Lantas mengapakah kita tidak berbakti padanya, dengan senantiasa menjadi hamba dan khalifahNya yang baik di muka bumi? Begitu sombongnyakah kita sehingga bersujud, menyentuhkan kepala pada tanah-pun begitu enggan?
Untung saja Allah bukan kapitalis yang selalu menghitung biaya investasi dengan kurs Rupiah atau Dollar. Pun Allah tidak sedang berjual beli surga dengan pahala dan ibadah. Adakah yang tahu berapakah harga tiket masuk surga? Berapa pastinya jumlah akumulasi pahala sebagai syarat standar masuk surga? Sungguh besok di akhirat kelak, seluruh ibadah dan amalan yang telah kita lakukan ternyata setelah ditimbang dalam “mizan” tidak mampu untuk menukar sebiji bola matapun. Lalu dengan apa kita akan menebus semua nikmat dan karunia Tuhan? Tidak perlu repot-repot, sesungguhnya Tuhan hanya meminta kita untuk bertanggungjawab sebagai makhluk yang berakal.
Sebagai makhluk dengan penciptaan yang sempurna. Tuhan hanya meminta kita untuk bertanggungjawab dengan “amanat” yang dititipkan pada kita. Bumi dengan segala isinya, tubuh kita dengan segala amal perbuatannya. Keluarga kita, anak-anak kita, orang tua kita, istri/suami kita, harta kita, kekuasaan kita, pengetahuan kita. Saudara kita yang sedang kesusahan, tetangga kita yang selalu kelaparan, anak yatim yang terlantar, pengemis dan gelandangan yang terlunta-lunta. Ya, disitulah wajah Allah berada. Disitulah “amanat” Allah meminta kita untuk menghadapkan wajah dan diri kita.
Tapi seringkali kita sok sibuk dan sok tidak mau tahu dengan Tuhan, seolah-olah Tuhan tidak mempunyai kontribusi sedikitpun dalam hidup kita. Jujur saja, berapa banyak dari kita yang ketika bangun tidur lantas mengucap syukur “Alhamdulillah, kita masih hidup!”. Berapa banyak dari kita yang menyadari bahwa sesungguhnya kita tidak berkuasa atas diri kita, bahwa ketika kita bernafas, ketika jantung kita berdetak, ketika nadi kita berdenyut, “saklar”nya bukan ada pada kita.
Kita tidak bisa bercanda dengan Tuhan untuk misalnya, berheti sejenak bernafas, mem”pause” jantung yang sedang berdetak, atau meng”cancel” nadi yang sedang berdenyut. Atau meng”undo” rambut yang tumbuh, kuku yang tumbuh dan darah yang sedang mengalir. Sungguh jika Tuhan berkehendak maka “matilah” kita semua dengan sangat mudahnya.
Tapi berapa banyak dari kita yang ingat mati? Bahkan seringkali kita bercanda dengan kematian seolah-olah kita tidak takut mati? Bahkan ketika Mbah Jambrong mati-pun, orang tidak ingat kalau dirinya juga akan mengalami mati. Orang lupa bahwa “kematian” bisa datang kapan saja. Bahwa Izrail bukanlah penagih hutang yang dengan mudah kita “semayani”. Dan Allah tentu tidak “goblok” dengan macam-macam tingkah manusia.
Allah tidak bisa dibodohi dengan kata-kata penghibur “Maaf Tuhan, saya sedang sibuk. Sholatnya nanti saja ya?” Tuhan juga tidak lengah ketika kita menomor 27kan Tuhan saat berjalan-jalan di Mall, melihat panggung hiburan, konser dangdut massal, hura-hura tahun baru atau bahkan ketika kita sedang menonton kotak hitam bernama Televisi. Berapa banyak dari kita yang mengucap “bismillah” ketika menyalakan televisi? Betapa seolah-olah Tuhan hanya sekedar wajib diingat sebagai basa-basi ketika kita sholat.
Seolah-olah wajah Tuhan hanya ada di Masjid dan Surau belaka. Atau tiba-tiba muncul sebagai “tempat mengadu” saat kita ditimpa musibah. Tiba-tiba kita sok akrab dengan Tuhan saat “kepepet”. Tiba-tiba kita menyembahnya dengan khusyu saat kita punya maksud dan hajat.
Tapi sungguh Tuhan tidak bodoh. Dan Tuhan tahu benar saat kita pergi melayat, bukan mati dan Tuhan yang kita ingat. Tapi kita sibuk membicarakan kenapa si Fulan bin Anu meninggal dunia? Bagaimana ceritanya? Adakah firasat menjelang kepergiannya? Dan sekeranjang sampah ucapan basa-basi turut berbela sungkawa dan bersedih hati.
Untung judi togel sudah dilarang, kalau masih pastilah orang pada ribut membicarakan tanggal kematiannya, jam berapa waktunya, kemudian diotak-atik menjadi nomor buntutan. Berapa banyakkah dari kita yang belajar tentang “tanda-tanda” kekuasaan Tuhan? Untuk kemudian memperbaiki diri dan bertawakkal kepada Allah. Wallahu ‘alamu bishshowab.
Ya, guntur itupun tak hanya mematikan listrik di kampung kami, tapi juga menyebabkan serangan jantung akut bagi Mbah Diman. Tepat ketika beberapa saat kemudian listrik menyala lagi, seluruh isi rumah berteriak histeris. Ya, Mbah Diman telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, entah napas yang ke berapa trilyun dalam sejarah hidupnya yang panjang.
Sayang memang belum ditemukan alat penghitung nafas, sehingga kita tidak tahu sudah berapa juta kalikah kita bernapas. Seandainya alat itu memang ada, sungguh ia bisa menambah keimanan kita pada yang Maha Memberi Nafas. Mungkin kita akan selalu ingat dan mawas diri, senantiasa bersyukur bahwa kita masih diberi kesempatan bernafas dengan hidung ciptaan Allah, jantung ciptaan Allah, paru-paru ciptaan Allah dan udara yang juga pemberian Allah. Suatu hal esensial yang jarang sekali kita pikirkan dan kita syukuri.
Untung Allah tidak komersil. Coba saja jika Allah Maha Pelit. Sungguh, sholat seumur hiduppun tak akan mampu membayar biaya sewa jantung, paru-paru, hidung dan udara yang kita hirup tiap hembusan nafasnya. Bahkan jelas ibadah kita takkkan mampu menukar biaya sewa segala fasilitas yang telah diberikan Tuhan pada kita sebagai modal hidup di dunia.
Lalu mengapakah kita tidak bersyukur, wahai orang-orang yang berakal? Lantas mengapakah kita tidak berbakti padanya, dengan senantiasa menjadi hamba dan khalifahNya yang baik di muka bumi? Begitu sombongnyakah kita sehingga bersujud, menyentuhkan kepala pada tanah-pun begitu enggan?
Untung saja Allah bukan kapitalis yang selalu menghitung biaya investasi dengan kurs Rupiah atau Dollar. Pun Allah tidak sedang berjual beli surga dengan pahala dan ibadah. Adakah yang tahu berapakah harga tiket masuk surga? Berapa pastinya jumlah akumulasi pahala sebagai syarat standar masuk surga? Sungguh besok di akhirat kelak, seluruh ibadah dan amalan yang telah kita lakukan ternyata setelah ditimbang dalam “mizan” tidak mampu untuk menukar sebiji bola matapun. Lalu dengan apa kita akan menebus semua nikmat dan karunia Tuhan? Tidak perlu repot-repot, sesungguhnya Tuhan hanya meminta kita untuk bertanggungjawab sebagai makhluk yang berakal.
Sebagai makhluk dengan penciptaan yang sempurna. Tuhan hanya meminta kita untuk bertanggungjawab dengan “amanat” yang dititipkan pada kita. Bumi dengan segala isinya, tubuh kita dengan segala amal perbuatannya. Keluarga kita, anak-anak kita, orang tua kita, istri/suami kita, harta kita, kekuasaan kita, pengetahuan kita. Saudara kita yang sedang kesusahan, tetangga kita yang selalu kelaparan, anak yatim yang terlantar, pengemis dan gelandangan yang terlunta-lunta. Ya, disitulah wajah Allah berada. Disitulah “amanat” Allah meminta kita untuk menghadapkan wajah dan diri kita.
Tapi seringkali kita sok sibuk dan sok tidak mau tahu dengan Tuhan, seolah-olah Tuhan tidak mempunyai kontribusi sedikitpun dalam hidup kita. Jujur saja, berapa banyak dari kita yang ketika bangun tidur lantas mengucap syukur “Alhamdulillah, kita masih hidup!”. Berapa banyak dari kita yang menyadari bahwa sesungguhnya kita tidak berkuasa atas diri kita, bahwa ketika kita bernafas, ketika jantung kita berdetak, ketika nadi kita berdenyut, “saklar”nya bukan ada pada kita.
Kita tidak bisa bercanda dengan Tuhan untuk misalnya, berheti sejenak bernafas, mem”pause” jantung yang sedang berdetak, atau meng”cancel” nadi yang sedang berdenyut. Atau meng”undo” rambut yang tumbuh, kuku yang tumbuh dan darah yang sedang mengalir. Sungguh jika Tuhan berkehendak maka “matilah” kita semua dengan sangat mudahnya.
Tapi berapa banyak dari kita yang ingat mati? Bahkan seringkali kita bercanda dengan kematian seolah-olah kita tidak takut mati? Bahkan ketika Mbah Jambrong mati-pun, orang tidak ingat kalau dirinya juga akan mengalami mati. Orang lupa bahwa “kematian” bisa datang kapan saja. Bahwa Izrail bukanlah penagih hutang yang dengan mudah kita “semayani”. Dan Allah tentu tidak “goblok” dengan macam-macam tingkah manusia.
Allah tidak bisa dibodohi dengan kata-kata penghibur “Maaf Tuhan, saya sedang sibuk. Sholatnya nanti saja ya?” Tuhan juga tidak lengah ketika kita menomor 27kan Tuhan saat berjalan-jalan di Mall, melihat panggung hiburan, konser dangdut massal, hura-hura tahun baru atau bahkan ketika kita sedang menonton kotak hitam bernama Televisi. Berapa banyak dari kita yang mengucap “bismillah” ketika menyalakan televisi? Betapa seolah-olah Tuhan hanya sekedar wajib diingat sebagai basa-basi ketika kita sholat.
Seolah-olah wajah Tuhan hanya ada di Masjid dan Surau belaka. Atau tiba-tiba muncul sebagai “tempat mengadu” saat kita ditimpa musibah. Tiba-tiba kita sok akrab dengan Tuhan saat “kepepet”. Tiba-tiba kita menyembahnya dengan khusyu saat kita punya maksud dan hajat.
Tapi sungguh Tuhan tidak bodoh. Dan Tuhan tahu benar saat kita pergi melayat, bukan mati dan Tuhan yang kita ingat. Tapi kita sibuk membicarakan kenapa si Fulan bin Anu meninggal dunia? Bagaimana ceritanya? Adakah firasat menjelang kepergiannya? Dan sekeranjang sampah ucapan basa-basi turut berbela sungkawa dan bersedih hati.
Untung judi togel sudah dilarang, kalau masih pastilah orang pada ribut membicarakan tanggal kematiannya, jam berapa waktunya, kemudian diotak-atik menjadi nomor buntutan. Berapa banyakkah dari kita yang belajar tentang “tanda-tanda” kekuasaan Tuhan? Untuk kemudian memperbaiki diri dan bertawakkal kepada Allah. Wallahu ‘alamu bishshowab.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar